Merawat, Melangkah: Mengenal Circular Fashion Dari Sosok Recycling Enthusiast
Intan Anggita Pratiwie, pendiri Sight From The Earth ini sudah gemar membeli baju bekas dan merombaknya menjadi pakaian baru sejak duduk di bangku kuliah. Bersama dengan Andien Aisyah, ia kemudian mendirikan Setali Indonesia sebagai social enterprise yang mengelola fashion waste dan home living waste dengan cara recycling (downcycling dan upcycling). Salah satu karyanya telah berhasil mengantarkan Intan dan Setali Indonesia ke peragaan mode Paris Fashion Week yang diselenggarakan pada bulan September 2021 mendatang.
Pijakbumi (PB): Sejak kapan Intan senang dengan dunia recycled fashion?
Intan Anggita Pratiwie (IAP): Tahun 2004-2008 ketika masih kuliah di Bandung, aku suka main ke pasar Cimol di Gedebage untuk beli barang preloved—paling banyak denim lalu aku permak sendiri. Kemudian, pada tahun 2013 ada satu momen di mana aku harus berangkat ke Okinawa bersama Papajo sebagai inspiring speaker di konferensi Coastal and Marine Litter UNEP (UN Enviromental Program). Karena kebutuhan dana yang besar untuk keberangkatan dan pembuatan film yang akan ditayangkan di Okinawa, akhirnya aku memutar ide untuk mengumpulkan dana dari denim yang waktu itu aku beli.
Di saat itu aku lagi keliling dan eksplorasi Indonesia Timur, jadi aku mengumpulkan tenun dan menggabungkannya dengan barang preloved dengan nama brand Sight From The East—sekarang namanya berubah menjadi Sight From The Earth yang mengolah fashion waste tanpa tenun.
PB: Tantangan apa saja yang pernah dilalui oleh Intan untuk tetap berkecimpung dalam dunia recycled fashion?
IAP: Pada waktu itu ada orang yang mengkritik saat aku melabeli karyaku dengan textile art. Kejadian itu sempat membuat aku kaget sekaligus sadar bahwa ternyata aku ngga tahan kalau dikritik orang. Saat itu aku memilih untuk berdamai dengan orang yang mengkritik aku. Aku ajak ngobrol langsung dan aku berdamai dengan dia. Karena dia lulusan tekstil, aku jadi banyak belajar dari dia. Dari kejadian itu aku belajar bahwa ketika berkarya akan ada orang yang selalu mencaci maki. Tinggal diri kita yang memutuskan mengambil sikap seperti apa, yang pasti kita harus berterima kasih atas setiap kritik yang membangun.
PB: Apa hal paling berkesan yang Intan rasakan di tengah kondisi pandemi?
IAP: Di kondisi pandemi ini aku belajar kalau downcycling ternyata bisa dilakukan manual dengan cara menggunting perca-perca lalu dijadikan benang dan serabut sehingga nilainya diturunkan; sementara upcycling nilainya ditinggikan.
Karena aku pernah belajar weaving, akhirnya aku gunting-gunting segala macam lalu aku mencoba weaving dan hasilnya ini dijadikan karya Tetralogi Nusa. Hasil downcycling yang dianyam, berarti gabungan antara downcycling dan upcycling, disebut sebagai closed-loop fashion. Proses tersebut bisa menjadi salah satu contoh dari full circle di satu produk fashion.
Selain itu, ada satu momen ketika aku lagi belum dapat project kerja yang baru, aku submit karya aku ke beberapa brand atau acara. Ternyata ada satu submisi aku yang keterima di Paris Fashion Week, September 2021. Temanya decluttering your home yaitu baju yang dibuat dari gabungan seprai, sarung bantal, dan gorden.
PB: Berapa lama waktu yang dibutuhkan Intan untuk memulai ide sampai proses menjahit?
IAP: Aku ngga pernah bikin dalam waktu yang lama, kecuali karpet. Biasanya aku memerlukan waktu selama 1-2 jam sementara proses drafting hanya butuh waktu 5-10 menit. Karena aku ngga punya manekin dan aku ngga gambar sama sekali, jadi aku drafting di lantai, terus gunting-gunting, terakhir dijahit. Aku juga dibantu sama penjahit yang sudah kerja sama aku selama 8 tahun. Kalau aku masih ngerasa ada yang kurang di hasil jadinya, biasanya aku tinggal tidur dulu sehari, baru besoknya aku lanjutin lagi.
PB: Apa Intan masih membeli pakaian baru dan bekas ?
IAP: Baju aku sekarang hanya ada 20-30 pasang. Kalau aku sudah bosan aku bisa langsung upcycle, karena ada studio di rumah. Aku masih beli baju bekas di Gedebage dan Setali Indonesia. Kalau baju baru aku paling beli pakaian dalam, baju renang, dan baju desainer yang tiba-tiba lagi diskon seperti one shot artisan designer atau sebelum pandemi, aku suka rental ke Style Theory Indonesia. Jadi kita bisa pakai baju-baju bagus milik desainer tanpa harus beli, cukup dengan bayar subscription bulanan.
ATLAS Eceng Hi Top kreasi Intan Anggita dan Fahmi
PB: Apa tips dan trik dari Intan untuk para konsumen yang terbiasa “beli, pakai, buang” agar berpindah ke circular fashion?
IAP: Kita perlu menyadari bahwa circular fashion itu ada 4R ‘Reuse, Reduce, Repair, Recycle’. Kalau reuse contohnya seperti pakaian turun temurun, thrifting atau beli preloved. Kalau reduce, aku suka menganalogikannya seperti kita mau beli barang dari desainer yang kita tahu, kita paham bagaimana pengelolaannya, bagaimana cara dia memperlakukan sumber daya manusianya, bagaimana cara dia melihat barang-barang yang menjadi source nya dia. Jadi kita tidak terlibat di area fast fashion. Menurut aku, ‘you are what you wear’ itu ada di tahap reduce. Kemudian, ketika kita pakai bahan organik, lalu kainnya dibikin sama garmen di Indonesia, penjualnya juga orang Indonesia, itu adalah bagian dari circular fashion yang mendukung circular economy. Kalau repair seperti halnya tukang permak dan tukang sol sepatu yang suka keliling-keliling perumahan. Ketika kita mau mulai sadar terhadap sustainable fashion, kita juga harus merasa kalau baju rusak itu masih bisa diperbaiki. Kalau misalnya diperbaiki ngga cukup, baju rusak itu ternyata masih bisa di-recycle. Jadinya kita bisa full circle dalam sustainable fashion dan 4R itu bisa jadi tonggak utama kita buat memulai.
Ketika kita pakai bahan organik, lalu kainnya dibikin sama garmen di Indonesia, penjualnya juga orang Indonesia, itu adalah bagian dari circular fashion yang mendukung circular economy.
Wawancara Khoirotun Nisa Foto Raihan Alif
1 comment
-
Posted on by rofadanthank you for writing let’s see the development of covid-19 at http://covid19.unair.ac.id